Selasa, 20 November 2007

LAKSAMANA SUKARDI KORUPSIKAH?

oleh: Fedrial Yurman

Laksamana Sukardi, mantan Menteri BUMN (mantan Komisaris Utama PT. Pertamina) pada masa kepemimpinan Megawati, bersamaan dengan mantan Direktur Utama PT. Pertamina, Ariffi Nawawi, dan mantan Direktur Keuangan, Alfred Rohimone, akhirnya ditetapkan oleh Kejagung sebagai tersangka kasus korupsi penjualan 2 (dua) kapal tanker (VLCC) PT. Pertamina. Negara diasumsikan mengalami kerugian sekitar Rp. 180-504 miliar (versi putusan KPPU).
Pada awalnya, KPK dan Kejagung secara bersamaan telah melakukan penyelidikan. Bahkan ketika itu, Laksamana Sukardi pernah dipanggil oleh KPK dan Kejagung pada saat yang bersamaan. Namun, karena Kejagung telah menemukan bukti permulaan yang cukup dengan adanya indikasi korupsi yang merugikan negara, maka penyelidikan di KPK dihentikan.
Kasus tersebut berawal dari pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU. Pada tanggal 29 Juni 2004 dan 9 Juli 2004, KPPU menerima laporan bahwa telah terjadi persekongkolan, dengan indikasi bahwa penunjukan Goldman Sachs sebagai financial advisor dan arranger tidak dilakukan melalui proses tender yang terbuka dan juga penentuan pemenang divestasi VLCC ditetapkan melalui penilaian yang tidak jelas dan tidak konsisten.
Setelah melakukan pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan, KPPU dalam putusannya menetapkan bahwa para pihak telah sah dan menyakinkan melanggar pasal 19 huruf d dan pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Goldman Sachs sebagai financial advisor dan arranger, Frontline sebagai bidder, PT. Equinox sebagai wakil Frontline, masing-masing dikenakan sanksi denda sebesar Rp. 19,17 miliar, Rp. 25 miliar, dan Rp. 16,56 miliar. Akan tetapi, KPPU dalam putusannya tidak memberikan sanksi berupa denda kepada PT. Pertamina (persero). PT. Pertamina hanya dikenakan sanksi administratif, berupa perintah dan larangan tertentu.
Seluruh pelaku usaha mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusan No. 4/KPPU/2005/ PN.JKT.PST, Majelis Hakim Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan keberatan pelaku usaha. Kemudian KPPU mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam putusannya No. 04 K/KPPU/2005, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi KPPU dengan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

PT. Pertamina (Persero) Bukan Kekayaan Negara
PT. Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dapat dianggap sebagai kekayaan negara. Sehingga penjualan 2 (dua) kapal tanker PT. Pertamina, tidak dapat dikatakan merugikan negara secara langsung. Pertama, PT. Pertamina (Persero) merupakan badan hukum yang mengacu kepada bentuk Perseroan Terbatas (PT). Badan hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yang sama seperti manusia pribadi. PT tidak tergantung dari keberadaan para pemegang saham, Direksi maupun Komisaris. Sekalipun mereka berganti atau diganti, pergantian tersebut tidak mempengaruhi keberadaan PT selaku persona standi in judicio (Fred B.G. Tumbuan: 1998).
Sebagai penyandang hak dan kewajiban, PT dapat mengadakan hubungan bisnis dengan pihak lain. Untuk itu dia memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Segala kewajiban hukumnya dipenuhi dari kekayaan yang dimilikinya itu. Apabila terjadi likuidasi, maka kewajibannya tersebut tidak akan dapat dipenuhi dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Kendatipun mendapat pinjaman dana dari pengurus atau pendirinya, atau jika BUMN mendapat suntikan dana dari negara berupa pinjaman, maka suntikan dana itu tetap dihitung sebagai hutang badan hukum (Abdulkadir Muhammad: 2002).
Kedua, Pasal 1 ayat 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan bahwa “BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Kemudian dalam penjelasannya disebutkan bahwa “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”.
Hal tersebut menandakan bahwa BUMN bukanlah termasuk kekayaan negara. Akan tetapi terdapat kontradiktif dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam penjelasan UU tersebut dikatakan bahwa “pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.. .”
Ketiga, pemerintah hanya sebagai pemegang saham mayoritas pada PT. Pertamina. Dalam Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyebutkan bahwa “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (telah diganti dengan UU No. 40 tahun 2007).” Dalam UU Perseroan Terbatas dapat dilihat bahwa organ perusahaan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. Kedudukan pemerintah disini adalah sebagai pemegang saham mayoritas. Konsekuensinya, sesuai dengan filosofi keberadaan BUMN, dimana pemerintah hanya dapat mengambil kebijakan yang bersifat strategis dalam RUPS, bukan memiliki PT. Pertamina tersebut.

Denda terhadap PT. Pertamina
KPPU dalam putusannya tidak menghukum PT. Pertamina layaknya pelaku usaha lainnya. Pelaku usaha lain pernah mengajukan keberatan terhadap hal tersebut, karena adanya diskriminasi penjatuhan hukuman. Padahal semua pelaku usaha termasuk PT. Pertamina terbukti telah melanggar pasal 19 huruf d dan pasal 22 UU Antimonopoli.
KPPU memang membatasi diri dalam penjatuhan hukuman sanksi denda terhadap pejabat negara. Misalnya apabila terjadi persekongkolan tender, maka pejabat negara/ panitia tender, tidak dapat digolongkan sebagai pelaku usaha, sehingga pejabat negara tidak termasuk cakupan KPPU dalam penjatuhan hukuman.
Akan tetapi KPPU telah bekerja sama dengan beberapa instansi terkait, seperti kejaksaan, KPK, dan kepolisian. Misalnya apabila terbukti adanya pelanggaraan UU Antimonopoli, maka KPK akan menjadikan putusan KPPU sebagai bukti permulaan dalam penyidikan terhadap pejabat negara tersebut.
Dalam hal ini, seharusnya KPPU harus cermat membedakan antara pelaku usaha dengan pejabat negara/ panitia tender. PT. Pertamina meskipun BUMN, akan tetapi tetap merupakan Perseroan Terbatas yang kekayaannya terpisah dari kekayaan negara. Sehingga, walaupun terbukti penjualan 2 tanker VLCC tersebut merugikan PT. Pertamina, akan tetapi tidak ada kerugian negara secara langsung. Seharusnya KPPU tetap memberikan sanksi denda terhadap PT. Pertamina.

Pemerintah dapat Menuntut Direksi dan Komisaris
Negara dalam hal ini merupakan pemegang saham terhadap PT. Pertamina. Pemerintah sebagai wakil negara dapat saja melakukan penuntutan apabila penjualan 2 (dua) tanker tersebut memang merugikan. Akan tetapi, penuntutan hanya dapat dimungkinkan sesuai dengan UU Perseroan Terbatas, karena pemerintah disini, berkedudukan sebagai pemegang saham.
Dalam Pasal 61 UU No. 40 Tahun 2007, pemerintah selaku pemegang saham dapat mengajukan gugatan derivatif terhadap tindakan Direksi atau Komisaris yang merugikan perseroan. Pemerintah seharusnya mengajukan gugatan derivatif tersebut kepada Direksi dan Komisaris PT. Pertamina di Pengadilan Negeri tempat kedudukan perseroan. Sehingga dalam hal ini, Laksamana Sukardi selaku Komisaris Utama PT. Pertamina tidak dapat dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung.